Langsung ke konten utama

Back to School



Hari senin, di mana segala aktivitas dimulai di hari itu. Aku sudah siap untuk berangkat ke sekolah dengan setelan putih biru. Ya, aku masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Jika kalian bertanya dimana ku bersekolah, maka di jalan Sumatera lah tempatnya. Menit demi menit kulewati, memperhatikan kesibukan suasana jalanan yang tak kunjung henti, hingga mobil pun menegur keras lamunanku di depan sekolah yang bangunannya dominan berwarna hijau.

“Yah, Assalamu’alaikum!”
“Yaa”

Tangannya yang begitu keras dan berurat menyambangi tanganku yang kecil dan sedikit berbulu sama seperti ayahku. Tapi lebih bagus tangan ayahku, lebih dewasa.

“Dah Ayah”
“Dah”

Begitulah respon ayahku, dengan nada penuh wibawa, yang selalu mengantarku ke sekolah setiap senin hingga jum’at. Aku hampir menuliskan kalimat “.. mengantarku ke sekolah setiap hari ..”, namun aku lupa bahwa sabtu dan minggu adalah hari libur. Meskipun tidak ada yang melarangku untuk datang ke sekolah di dua hari itu.
Pagar putih besar menyambut bisu semua siswa putih biru yang berbondong-bondong ingin masuk kedalamnya. Aku pikir bukan untuk belajar, melainkan untuk bertemu teman-teman yang sudah lama tak ditemui selama kurang lebih satu bulan. Kalau yang sudah punya pacar di sekolahnya, mungkin ingin menyambung cerita kemarin yang belum selesai di motor. Maklumlah, anak seusia segitu, termasuk aku, sudah mulai mencari jati dirinya siapa. Mungkin kita mendadak amnesia di waktu yang bersamaan. Aku sudah lupa ada kejadian apa lagi setelah aku masuk gerbang putih itu, yang kuingat, aku menghirup aroma suasana sekolah yang tak kunjung berubah. Berharap tanah yang kupijak berubah menjadi warna keemasan atau warna dinding sekolah yang berubah menjadi warna hitam. Kenapa hitam? Jangan tanya kenapa. Kujelaskan juga kamu tidak akan mengerti, akan memanjangkan ceritanya saja.
Tradisi di sekolahku adalah setiap awal kenaikan kelas, tepatnya setiap bulan juli tahun ajaran baru, siswa akan di—rolling. Maksudnya?. Aku tidak akan sekelas lagi dengan teman yang serupa, melainkan akan bertemu teman-teman baru dari kelas lain. Sedih rasanya tidak bisa bermain sepak bola lagi bersama Rikat dan Adhyasa setiap mata pelajaran usai. Kebetulan di depan kelasku ada lapangan voli yang tidak digunakan hingga pulang sekolah, sehingga kami selalu bermain sepak bola disana. Walaupun bola yang kami gunakan bukanlah bola piala dunia resmi yang diekspor dari distrik Cibaduyut, Bandung. Kami hanya menggunakan bola plastik.
Saat itu kami dikomandoi oleh Pak Herri, beliau adalah “Pak Suripto” nya “Dilan” di jamanku. Isunya adalah, dia mantan anggota salah satu geng motor yang terkenal di kota Bandung. Perawakannya besar, lebar, rambut tidak terlalu banyak, tatapannya menakutkan, dan gemar bernafas. Telunjuk jarinya adalah tongkat sihir bagi sepasang mata siswa-siswi di sekolahku. Kami digiring ke area lapangan basket – voli. Aku yang sedang asik bercengkerama dengan teman-teman sekelasku, harus berhenti sejenak dan lebih mematuhi perintah beliau saat itu. Maklum, novel “Dilan” belum terngiang di gendang telingaku. Bahkan sekedar ingin untuk membaca novel pun tidak di umur segitu. Berbeda jika novel itu sudah keluar dan beredar lalu-lalang di pasaran. Mungkin Ku komandoi saja seluruh guru untuk berbaris di depan teman-temanku sembari mendengarkan pengarahan lugas nan wibawa, agar seluruh siswa di sekolah ini, termasuk murid baru, ditambah lagi waktu liburnya. Tapi kasihan juga euy sama pedagang film di depan sekolah, pemasukannya berkurang semenjak kita libur.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
“Ananda ku yang Bapak sayangi dan cintai … “

Sambutan hangat penuh wibawa dari kepala sekolah yang sering menghilang jika ingin kutemui, namun selalu ada ketika hari senin pagi. Apakah mungkin tugasnya begitu padat sehingga enggan menyapa kami di hari selasa hingga jum’at? Ataukah aku yang tidak terlalu peduli terhadap eksistensi beliau sebagai kepala sekolah dan lebih takut pada Pak Herri atau guru matematika saat itu, Pak Ujang?. Lebih jauh dari itu, aku senang bisa bersekolah disini, di Bandung. Akhirnya, selama satu setengah jam dipanggang oleh teriknya matahari pagi, yang sesungguhnya menyehatkan, aku digiring bagai anak ayam yang menemukan bapaknya, ke gelanggang olahraga kebanggaan sekolah. Oh, aku sampai lupa mengenalkan nama Beliau kepada kalian. Namanya Bapak Yaya Supiyana. Perawakannya tinggi, besar, berkumis tebal, memakai kaca mata, dan guru seni musik kami di kemudian hari. Dia senang untuk bulak-balik kamar mandi jikalau sedang sakit perut, seperti manusia normal pada umumnya.
Selama dikelompokkan, aku menemui beberapa wajah lama, namun tak sedikit wajah-wajah baru. Aku tidak terlalu peduli dengan siapa aku dikelompokkan, asalkan asik untuk diajak ngobrol, itu sah-sah saja. Kalau tidak mau diajak ngobrol, aku paksa untuk ngobrol. Karena sesungguhnya kita itu bersaudara, satu kakek moyang yang sama dan latar belakang yang sama. Latar belakangnya, kalau tidak di sekolah, berarti di rumah, atau sesekali di mall, biar bisa belanja.
Meskipun sudah mendapatkan teman-teman baru di kelas baru, akan tetapi mereka, termasuk aku, tetap saja mencari temannya yang lama. Maklum, kami masih suka berada dalam lingkaran pertemanan yang lama, enggan membuka jembatan untuk dapat tembus di lingkaran pertemanan yang baru. Tahukah kalian? Suasana di sekolahku masih sejuk saat itu. Warna hijau dimana-mana kutemui. Ada juga warna putih. Biar tidak jadi sasaran bunglon atau ular daun. Selasar sederhana, yang riuh oleh petikan gitar di hari pertama meski tidak ada pelajaran musik di hari pertama masuk sekolah. OSIS sedang sibuk untuk menyiapkan surprise bagi murid baru yang wajahnya masih polos. Guru-guru masih asyik bersantai di ruangannya untuk saling bertegur sapa dan menceritakan kemewahan liburannya kala itu. Mewah tidak berarti harus di luar kota atau luar nagreg. Negeri maksudnya. Cukup di rumah saja, itu bisa bahagia.
Selama di kelas, aku saling bertegur sapa dengan teman-teman baru.

“Onee”
“Idham”
“Dari kelas 8 apa?”

Aku lupa Idham dari kelas 8 apa, maklum aku lebih fokus hafalin juz amma daripada asal kelas si Idham. Hampura euy, dham! (Hampura = Maaf). Semester pertama ini, aku sebangku dengan Idham. Aku ingat dimana kami duduk bersama. Barisan kedua dari kanan dan empat meja dari depan. Namun, tergantung nasib juga. Karena, duduk di belakang bagi anak laki-laki itu seperti undian untung-untungan. Duduk dibelakang adalah sebuah anugerah terindah yang Allah berikan untuk para pejuang seni. Seni yang seperti apa? Baliklah kalian ke jaman sekolah. Apapun itu jenjangnya. Pasti tau makna seni itu apa.
Selebihnya aku lupa kejadian di hari itu apa. Hal yang terpenting adalah aku kembali lagi ke sekolah untuk meminta ilmu, bukan untuk menuntut ilmu. Kasihan ilmu dituntut terus, dia tidak bersalah sama sekali. Kita yang sok menuntutnya. Selain itu, aku bisa bertemu teman-teman sepermainanku yang lama dan baru. Sudah itu saja, tidak banyak-banyak. Takutnya terkesan mengada-ngada, kaku, seperti mencari inspirasi yang terkadang kikuk di awal, kecewa di akhir jika tak sesuai ekspektasi.
Aku pulang naik angkutan kota jurusan St. Hall - Gedebage, kemudian lanjut St.Hall – Lembang. Sampai sekarang, ketika aku menulis cerita lepas tanpa aturan ini, aku masih ingat bagaimana rasanya duduk saling berdesakan di angkot. Apalagi ketika kakiku harus bersinggungan dengan ban cadangan mobil itu. Jika kalian bertanya dimana rumahku, pastilah kujawab di bumi. Karena tidak ada tempat yang nyaman selain di bumi.
Sesampainya di rumah, kakiku terasa berat seperti ada tuyul yang memeluk dan merengek minta uang jajan. Sungguh tak kuasa ku menahan rasa lelah perjalanan puluhan kilo.

Assalamu’alaikum, maaaaaak … “
Wa alaikum salam. Oh sudah pulang toh?”
“Hmm …”
“Ngapain aja tadi di sekolah, wan?”
“Biasa mak, sambutan dari kepala sekolah. Pengelompokan teman baru”
“Oh, ai kamu sama siapa atuh?” (ai = kalau, atuh = dong)
“Aduh siapa yah? Lupa lagi mak. Kebanyakan temannya. Idham teman dudukku”
“Dasar, pelupa kamu mah anaknya!” (mah = tuh)

Mamah adalah ibu terbaik yang pernah kumiliki di dunia ini. Kerjaannya banyak, mengurusi suaminya, alias ayahku, mengurusiku, dan mengurusi rumah. Namun, ibuku tak sendiri, Beliau dibantu oleh asisten rumah tangga, Rat. Namanya terdengar aneh, tapi percayalah bahwa ibuku tidak dibantu oleh seekor tikus, melainkan manusia normal, perempuan, gemar mandi setiap hari. Tanpa kedua orang tuaku, aku tidak akan menulis sepanjang ini sekarang. Terima kasih Ayah. Terima kasih Mamah.

“Wan, makan!”

Nadanya begitu keras. Maklum, setelah pulang sekolah, aku langsung ke kamar untuk sekedar mendengarkan lagu dan melakukan aktivitas yang kusukai. Di jaman itu, aku belum mengenal Facebook atau Yahoo Messanger. Bahkan Whatsapp. Tidak usah kujelaskan apa aktivitasku. Terlalu panjang dan nanti kamu tiru.

“Iyaa maak, bentar”
“Kamu ini, disuruh makan kayak disuruh macul

Kalimat terakhir itu adalah quotes andalan ayahku yang disadur kembali oleh ibuku. Sungguh kerja sama yang baik. Kalimat terakhir itu pula yang menjadi akhir dari tulisan di hari ini.

Bandung, 6 Desember 2019

Komentar