Bel istirahat siang pun berbunyi, semua siswa, guru, dan
beberapa pegawai bergegas memanfaatkan waktu istirahat yang diberikan oleh
kepala sekolah selama satu jam. Sungguh kasihan pegawai-pegawai piket, mereka
dihukum oleh kepala sekolah untuk saling bergantian istirahatnya. Katanya,
takut ada penyusup yang masuk ke sekolah, sekedar untuk promosi bimbingan
belajar atau kacamata tembus pandang. Apalagi ada pegawai penekan bel, harus
menekan bel istirahat. Dia tidak boleh lama-lama istirahatnya, harus lebih awal
menekan tombol bel masuk kelas lagi, tombol bel masuk ruang guru lagi. Agar
gurunya bisa bersiap-siap mengajar di kelas. Tidak makan gaji buta. Gaji dari
pemerintah daerah. Kawasan sekolahku bisa dikatakan green life style. Maksudnya, bukan bersih dari limbah dan bebas
asap rokok, melainkan gedung sekolahnya saja yang hijau dan ada orang-orangnya punya
gaya hidup. Semua serba hijau kecuali pagar dan gerbangnya, berwarna putih, putih
itu suci merah itu berani, kata mang Djubed,
karyawan pendukung di sekolah, tugasnya sama seperti mang Aep dan mang Kodar.
Memang, jiwa veteran mang Djubed tak
bisa dipungkiri, selalu saja keluar kata-kata perjuangan yang bijak bekas kolonialisme
Belanda.
Cerita sedikit boleh, ya? Mang Djubed suka merokok, tapi dia baik, tidak merokok di sembarang
tempat. Suka minum kopi hitam pakai gula, akan tetapi tidak terlalu banyak, takut
diabet katanya. Baju sehari-harinya adalah baju partai. Setiap dua hari sekali
partainya ganti-ganti, sehingga aku sulit menebak pilihan caleg dan presiden mana
yang dipilih mang Djubed di bilik
suara pas pemilu nanti. Alamat
rumahnya di Jalan Sumatera No. 42 Bandung (Blk). Singkatan “Blk” dapat berarti
di belakang, tapi entah di belakang mana tepatnya. Namun, jika dilihat secara
rinci alamat rumahnya, ya ampun, itu mah alamat sekolah. Begitu besar
rumahnya, jangan macam-macam dengan mang
Djubed. Beliau juga se-alamat rumah dengan Marsum, Cucu, Herman, dan Ngadio.
Sesama karyawan sekolah. Itulah yang tertulis di booklet tahunan angkatanku.
Balik lagi ke istilah green
life style, tadi sempat terpotong gara-gara menceritakan mang Djubed. Saat aku bersekolah disana,
sedang giat-giatnya pembangunan di dalam area sekolah. Entah apa yang dibangun,
pokoknya ada suara ketukan martil, tumbukan kayu, amplasan semen, gesekan
gergaji, dan bising mesin gerinda. Namun, yang pasti selalu ada tukang
bangunan, tukang kebun, tukang bersih-bersih, segala macam tukang untuk
memperkerjakan alat-alat yang sudah ku sebutkan sebelumnya. Mereka selalu dapat
menginspirasi kami untuk tidak mendengarkan instruksi guru di kelas. Selalu
dapat inspirasi untuk berkreasi apabila ada kepulan asap rokok yang keluar dari
mulut mereka. Namun, hal ini tidak bertahan lama, hanya beberapa bulan, karena
mereka tidak membangun piramida fir’aun di dalam sekolah.
Kantin di sekolahku sangat banyak, jualanannya pun beragam, ada
yang jualan gorengan, lumpia basah, mie ayam, dan lain sebagainya. Hal lainnya
dari kantin sekolah ini adalah tiap sudut pasti ada. Maksudnya, ada yang
terlihat, ada juga yang tidak. Ada dua kantin yang tersembunyi, di balik
dinding belakang sepanjang kelas tujuh dan delapan, tapi tidak terlalu luas,
cukup untuk mengisi perut disaat lapar. Kantin teh Aat salah satunya. Namun, kantin itu tidak terlalu dipandang
baik di mata wakasek kesiswaan dan beberapa guru. Sebab, banyak siswa yang
mencari pelarian disana, tujuannya untuk kabur dari mata pelajaran yang sungguh
membosankan. Tidak salah, karena kita disekolahkan oleh orang tua untuk meraup
ilmu sebanyak-banyaknya dan bahagia, terlepas itu mau ilmu agama, matematika,
pengetahuan alam, maupun pengetahuan sosial. Namun, cara mereka saja yang
kurang tepat mengajarkan kami. Maklum, mungkin mereka sedang ada masalah di
rumah hingga dibawa sampai ke sekolah. Dahulu ada guru yang senang curhat
ketimbang mengajar pelajaran di kelas. Gurunya sedikit galak dan aku tidak
terlalu suka dengan mata pelajaran itu, lebih suka mata pelajaran PPKn, gurunya
cantik dan jago bermain angklung. Ibu Avi namanya. Guru yang gemar mengangkat
tema kesehatan itu adalah guru IPS. Selama bercerita di kelas, apapun yang dia
beli, seperti alat pembuat jus, diceritakannya. Karena gemar menceritakan pola
hidup sehat, dia langsung sakit esok harinya, setelah mengatakan, “Ibu suka
minum jus, ibu tidak pernah sakit”. Syafakillah,
Bu.
Aku yang masih duduk di bangku kelas delapan, memilih untuk
bermain sepakbola bersama Rikat dan Adhyasa. Mainnya suka di lapangan voli,
tepat di depan kelas 8-G, kelas kami. Saat itu cuaca begitu cerah, sungguh
sangat mendukung segala aktivitas ritual istirahat. Bola yang kami gunakan
adalah bola plastik, karena bola piala dunia tidak boleh kata pak Rachmat,
salah satu guru olahraga di sekolahku yang perawakannya seperti John Cena,
pemain gulat. Awalnya kami hanya oper-operan
bola untuk melatih syaraf motorik kaki yang sudah lama tidak terpakai dari
pukul 7.00 pagi hingga 12.00 siang. Teman-teman yang lain, memilih untuk menunaikan
sholat dzuhur di masjid sekolah dan mengisi perut terlebih dahulu di kantin,
walaupun motifnya darmaji (dahar lima ngaku hiji). Perlu diketahui
dalam cerita ini, tidak tahu pasti, apakah aku suka sholat dzuhur atau tidak di
sekolah, karena hingga sampai saat ini, aku juga ragu untuk menuliskannya. Jika
konteksnya hari jum’at mungkin bisa lah
ku tuliskan. Hehehe
Satu per satu mereka datang, Yocky, Ja’far, dan Sandy, ikut
bermain oper-operan bersama kami. Kuota
manusia sudah tercapai, kini kami bermain bola betulan. Horee
“Hayu gancang gambreng
heula”, ujar Rikat dengan nada seperti penguasa lapangan
“Urang jeung si
Sandy, maneh jeung si Ja’far, weh!”
“Urang embung jeung si
Rikat”, ujar Yocky
Sebelum pertandingan dimulai, ritual hom-pim-pa untuk menentukan rekan tim itu wajib. Namun terkadang,
kami langsung menentukan rekan tim sendiri. Intinya, agar kami memiliki dream team dan menang.
“Aing hideung, aing
hideung !”, seru Rikat dengan girang sembari mengangkat tangannya setinggi
mata kami memandang.
“Maneh mah geus hideung !”, terdengar dengan aksen sunda yang sangat
kental.
Sontak, kami yang berada di lapangan menahan tawa dengan berbagai
gaya. Tidak usah dijelaskan, kita semua pernah menahan tawa, bukan?.
“Anjir, sia ngaledek aing?”, sambil menunjuk
orang yang berada di dekat gawang, agak jauh dari Rikat. Ya ampun, ternyata
Adhyasa yang berani mengucapkan kalimat itu?!.
Untungnya, percakapan dalam konteks bercanda. Rikat pun ikut
tertawa, dia sadar bahwa kulitnya hitam, jadi dia tidak tersinggung. Alhamdulillah.
Dia pun tidak segan menendang bola sekuat tenaga ke arah
Adhyasa, mungkin kesal bercampur lucu. Memang, mereka berdua seperti pasangan
emas di film kartun Kapten Tsubasa. Namun, semua itu berubah ketika kami menjelang
kelulusan. Mereka tidak lagi sering bersama, mungkin beda kelas, beda prinsip
hidup, beda rumah, beda selera makan, dan beda-beda lainnya yang tidak ku ketahui.
Satu tim terdiri dari lima orang, aku satu tim dengan Rikat
dan Adhyasa. Aku dan Rikat menjadi penyerang depan, sedangkan Adhyasa menjadi kiper,
sisanya aku lupa siapa, hanya ikut mengalirkan bola saja. Biar gol pastinya. Lawannya,
juga terdiri dari lima orang. Sandy sebagai kiper, perawakannya tinggi dan
pandai bermain basket, dia terpaksa menjadi kiper karena dia lebih senang
menangkap bola daripada menggiring bola. Penyerang depan diisi oleh Yocky dan Ja’far.
Pemain tengahnya, Ovrie.
Yah, hujan. (Tulisan ini ditulis ketika lagi hujan di rumahku).
Sedikit cerita, Ja’far adalah ketua OSIS sekolah kami yang tidak
jago bermain sepakbola, sangat kikuk jika kakinya mencium bola plastik. Seperti
laki-laki yang pemalu jika bertemu perempuan yang disukainya. Namun, dia begitu
ekstrovert dan pengetahuannya juga luas, tidak sepertiku. Dia sangat mencintai
segala hal yang berbau Jerman. Bau gambar bendera Jerman di atlas juga dia suka.
Baunya beda dari bendera-bendera negara lain ujarnya. Apalagi ketika Dani, anak
baru pindahan dari kota Kรถln, Jerman, datang dan bersekolah di sekolah serba hijau
ini. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Bukan berarti dia homo, kan?.
Saat aku kuliah sambil membuka Facebook, aku melihat dia ada di Jerman.
Nampaknya ada lawatan penting yang tidak bisa dia tangguhkan kepada temannya
yang lain. Dengan kata lain, impiannya untuk ke Jerman berhasil dan bisa
mencium aroma salah satu kota di Jerman tentunya. Terakhir aku bertemu Ja’far di
salah satu rumah makan cepat saji di jalan Merdeka Bandung, sedang mengambil
pesanan makanan buka puasa. Dia terlihat sehat wal afiat dan sukses.
Suasana di siang itu sangat hangat, hangat dengan
keseriusan, hangat dengan tawa, hangat dengan matahari yang memancar tegak
lurus di atas kepala. Siswa lain hilir mudik melewati lapangan voli sambil
membawa jajanan yang sudah dibeli dari kantin untuk dimakan di kelas. Lebih
enak dimakan di kelas, bisa nyampah
di kolong meja, bisa cerita-cerita dengan teman. Bercerita segala hal tanpa ada
tema yang terstruktur, mengalir begitu saja.
Nampaknya, kami yang bermain sepakbola masih terlalu asyik
untuk saling berbalas gol. Ada beberapa kakak kelas yang juga menonton di pinggir
lapangan, mungkin mereka mencari hiburan. Kalau adik kelas belum berani, masih
takut katanya. Nanti kalau udah jadi kakak kelas baru berani.
Akhirnya bel masuk berbunyi, dibunyikan oleh petugas piket
yang waktu istirahatnya masih kurang. Berangsur-angsur siswa berpakaian putih
biru masuk ke dalam kelas, meninggalkan bangku tempat nongkrong di depan kelas, membuang
bungkus makanan ke tong sampah, sisa-sisa gayeman
yang dihabiskan bersama teman. Guru-guru juga merapihkan seragam PNS (Pegawai
Negeri Sekolah) kebanggaan mereka, agar terlihat anggun dan wibawa ketika
memasuki kelas.
“Pantang menyerah sebelum guru datang, oke?”, dengan nada
sedikit terengah
“Kalem lah, can aya guru na ge!”, dengan nada penuh keyakinan setelah berkeyakinan Islam
sejak lahir. Apa sih namanya,
primordial, gitu?
(jebraaattt..jebreett..jebrattt..jebreetttt…)
“Umpan ka aing!”
“Gancang ai sia, ntong
loba kotek!”
(Jebreeettt)
“Ah, ceuk urang ge umpan
heula ka aing”
“Hampura euy, teu
ningal !”
“Sok, gancang-lah Yasa”
“Kat!”
“Crossing, Ovrie”
(Jebreeeeett..)
“Headen, goblok !”
“Hehehe, teu nyampe ai
maneh. Aing pondok kieu Hehehe”
Seperti itulah serba-serbi percakapan kami ketika bermain di
lapangan yang tidak seharusnya ditiru saat bermain sepakbola dan penuh tanda
seru. “Punten nyak, dialog na kasar da sanes makhluk halus”, ujar penulis yang disadur dan direvisi kata-katanya
dari penulis yang mengaku imigran dari sorga.
Aku sungguh menikmati masa-masa itu, sungguh, hingga aku benar-benar masih
mengingatnya sampai sekarang dan menuliskannya disini sambil tersenyum. Kamu
jangan tersenyum ya, kan nggak ngalamin.
Tidak lama setelah kami meyakinkan situasi masih senang-senang
saja, datanglah guru yang merangkap sebagai wali kelas kami, Ibu Siti Yulipah namanya.
Perawakannya seperti ibu-ibu yang sudah melahirkan tiga anak dan tidak diajak
ke Zen. Wajahnya manis seperti buah leci yang dicampur sirup dan air. Sandy
suka memanggilnya “Ibu Kota”, karena ibu Kota = ibu City = ibu Siti. Ya,
begitulah logikanya. Jangan ditiru, mungkin dia ingin melucu dengan jalan
ninjanya sendiri. Beliau juga guru mata pelajaran bahasa Inggris, akan tetapi
tidak mengajar di kelasku. Karena kepala sekolah menjunjung tinggi anti kolusi
dan nepotisme. Takut nilai bahasa Inggris satu kelas, 100 semua, mengalahkan
anaknya yang sudah capek pulang malam di EF (English First) – Bimbingan belajar
bahasa Inggris yang dahulu logonya seperti obat pusing kepala. Aku sudah lupa
ada kejadian apa berikutnya setelah beliau datang ke kelas kami. Soalnya, pasti
membosankan dan kurang menarik untuk diingat.
Saat itu kami tidak terlalu menghiraukan kedatangan beliau.
Masih asyik untuk oper bola sana-sini, tendang bola sana-sini, tertawa-tawa
hingga Vladimir Putin kecewa kalau kami disekolahkan di Rusia, “Banyak mainnya”,
ujarnya.
“Kalem, kedeung deui”, kata Ovrie.
Sebenarnya aku tidak tahu siapa yang berbicara demikian, aku
tulis saja Ovrie biar kebagian dialog lah, kasihan.
Tiba-tiba, karena suara tawa kami terdengar ke se-antero
jalan Sumatera No.42, pak Herrie pun tiba-tiba terlihat dari kejauhan, datang
dari balik dinding GOR kebanggaan sekolah, yang warnanya hijau, yang juga biasa
dipakai PPDB, selain pertandingan bulutangkis. Beliau mengangkat tongkat
magisnya sembari menatap dengan santai. Tongkat yang ku maksud adalah telunjuk
jarinya. Permainan pun berhenti seketika. Tidak ada lagi yang menendang bola
sekuat tenaga, tidak ada lagi gelak tawa di tengah lapangan. Seketika seperti
ada wasit dadakan yang memberhentikan seluruh aktivitas kami saat itu. Sama
halnya dengan siswa-siswa yang masih asyik duduk di pinggir lapangan basket
sambil memakan apa yang digenggamnya. (Semua siswa di masa ku pasti tahu akan hal itu).
Akhirnya, semua masuk ke kelas, termasuk aku. Masuk ke kelas sambil lari
terbirit-birit bagai dikejar rentenir. Dahulu, guru begitu digugu dan ditiru oleh
muridnya, walaupun dia sangat menyebalkan. Sekarang, guru lebih banyak di-bully oleh muridnya, akibat perkembangan
budaya yang begitu pesat, namun tidak terkontrol. Suasana kelas kembali
kondusif, guru mengajar, murid mencatat, hingga bel pulang pun berbunyi. Lalu,
apakah aku sempat sholat dzuhur setelahnya?.
Bandung, Desember 2019
Komentar
Posting Komentar