Pagi yang sejuk mengawali perjalananku menuju sekolah. Aku berangkat
bersama dua sepupuku, cewek semua, tak lupa ayahnya juga diajak, biar ada yang menyetir
mobil Carry berwarna putih polet hitam, ada lampu depan dan belakangnya, pakai
kaca juga untuk menghalangi debu yang masuk ke mata, lebih private-lah. Memangnya bimbel aja yang bisa?. Ban mobilnya berwarna
hitam, kalau tidak salah velg nya
berwarna putih dan ada variasi bolong-bolongnya. Biar terlihat keren seperti
mobil pak haji. Tidak tahu pak haji yang mana, yang pasti dia pernah ke Mekkah,
pulang-pulang bawa air zamzam. Mesin mobilnya masih transmisi manual yang
terkadang agak macet kalau oper ke segala mode gigi. Gigi siapa? Yang pasti
bukan gigi ayah mereka. Karena kalau gigi ayah mereka, bisa dibayangkan gigi
gerahamnya ditaruh di depan, sedangkan gigi serinya di belakang. Menyeramkan,
yah?. Pagar rumah sudah dibuka sangat lebar agar mobil bisa mundur keluar dari
rumah. Aku naik mobil terakhir, tugasku memastikan mobil tidak mundur terlalu
semangat dan menabrak dinding TK Aisyiah kebanggaan warga Garunggang Kulon.
“Ya, terus-terus!”
“Sedikit lagi, yah”
Tanganku terlihat seperti tukang parkir professional untuk
sekelas sekolah menengah pertama
“Oke, Op …”
“Ya, naik wan!”
Aku berjalan mendekati pintu mobil dan segera untuk
memasukinya dari pintu belakang. Pintu depan sudah penuh, oleh ayahnya dan
sepupuku yang lebih tua daripada adiknya yang duduk di belakang.
“Sudah, yah”
Sebelum berangkat, kami membaca basmallah bersama-sama, agar diselamatkan sampai tujuan.
“Bismillahirrahmanirrahiim”
Ayahnya menginjak kopling sembari mengubah mode gigi mobil dari
mode 1 menjadi mode 2. Tidak bisa langsung mode 5. Takutnya loncat seperti kuda
koboy dan langsung sampai ke tempat tujuan. Gas diinjak perlahan agar kestabilan
dengan kopling tercapai, sehingga mesin mobil bisa bekerja dengan normal. Berikut
juga dengan keempat rodanya, saling beradu, tidak bisa saling menyalip satu
sama lain. Tidak usah kuceritakan perjalanan keluar dari gang Garunggang Kulon
seperti apa. Datang saja, dekat, kok!.
Garunggang Kulon adalah sebuah nama gang di sisi jalan Sukajadi, tepat di depan
rumah sakit Hasan Sadikin. Jalannya tidak terlalu sempit, cukup untuk dua mobil,
meskipun harus ada yang mengalah. Biasanya penduduk direpotkan oleh pendatang
yang tidak tahu malu.
“Ayo yah, cepetan. Bisi ada mobil yang mau masuk!”
“Ah masih pagi atuh
de. Tenang aja. Iya nggak, Wan?”
“Iya. Hehehe”
Sepupu yang menemaniku duduk di belakang, satu sekolah
denganku. Secara sikap, lebih ekspresif daripada kakaknya yang duduk di depan
dan aku yang menemaninya di belakang.
Mobil Carry itu melaju dengan kecepatan kurang dari 30
km/jam. Maklum, jalannya bergelombang tidak terlalu rapih seperti jalan
protokol kota yang dilapisi aspal, diberi marka jalan. Orang-orang masih
terlalu sedikit berlalu-lalang di pagi itu. Memang, masih terlalu pagi untuk
beraktivitas. Mengapa kami berangkat se-pagi ini. Akhirnya, mobil berhasil
keluar dari gang dan langsung tancap gas naik jembatan Pasupati, yang saat ini
menjadi salah satu icon di kota
Bandung.
Jembatan layang Pasupati mampu memuat puluhan mobil dalam
dua lajur yang berlawanan. Konstruksinya dimulai sejak aku masih duduk di
bangku sekolah dasar. Berbahan dasar beton kuat, kerjasama dinas kota dengan
PP. Jembatan ini menghubungkan bagian utara dan timur kota Bandung melewati
lembah Cikapundung. Sebagian jalan itu dibangun di atas jalan Pasteur, adalah
jalan lama dengan pohon palm raja di sebelah kanan dan kirinya yang menjadi
ciri kota Bandung. Pada malam hari, bagian tengah jembatan ini diterangi lampu
sorot warna-warni. Asik untuk sekedar menebar cerita bersama dengan keluarga
maupun pasangan di malam minggu. Tapi pada saat itu aku lebih memilih di rumah
saja. Jembatan ini memanfaatkan sistem anti gempa, maksudnya, ada suspense yang
menopang bagian antara tiang penyangga dan jalannya. Sudah dulu penjelasan
jembatan Pasupatinya, takutnya kamu benar-benar ingin ke Bandung untuk
melihatnya secara langsung. Tenang, masih ada jembatan yang tidak kalah heboh
tampilannya daripada jembatan Pasupati.
Rute pertama yang akan kami kunjungi adalah kampus ITB.
Tepatnya ada di jalan Ganesa No. 10 . Akan tetapi, tidak biasanya dia ingin
diturunkan di tempat yang tidak seharusnya. Ada gerbang dekat dengan gedung
jurusan Fisika. Mungkin ada yang harus dia kerjakan lebih awal bersama
teman-temannya di selasar jurusan. Biasanya sih
praktikum. Aku ingat sekali dia meminta pada ayahnya untuk diturunkan bukan di
pintu barat kampus.
“Yah, anterin di samping aja, ya!”
“Tumben teteh nggak di depan?”
“Nggak apa-apa,
biar dekat aja”
“Oh iya atuh kalau
begitu mah!”
Sehingga Carry berwarna putih polet hitam itu pun berhenti
di tempat yang dia inginkan sedari lima menit yang lalu.
“Nah sampai, teh!”
“Ayah, aku kuliah dulu, ya. Sun tangan dulu”
“Iya sok, pulang
jam berapa teh?”
“Malam, seperti biasa mau nugas dulu”
“Mi, teteh pergi
dulu. Sini sun tangan dulu!”
“Dadah, Iwan!”
“Kamu mah nggak usah
di-sun yah? Bukan muhrim hehe”
“Hehehe iya teh”
Akhirnya, kakak sepupuku beranjak keluar dari mobil sambil melambaikan
tangan, sebagai isyarat selamat tinggal sejenak pagi ini dan akan bertemu lagi
nanti malam. Anak kuliahan memang kegiatannya sungguh padat. Mulai dari, kuliah
sebagai kegiatan pokok utama di kampus, hingga himpunan dan ekstra kulikuler
sebagai kegiatan penyokong kesuksesannya. Kampus itu berasal dari bahasa latin
yang berarti lapangan yang luas. Jadi, sebisa mungkin mahasiswa harus bisa
memanfaatkan situasi dan potensi yang dimilikinya di satu tempat, yakni kampus.
Perlu diketahui bahwa kampus ITB dari dulu hingga sekarang tidak jauh dari kata
banyak tugas. Aku pun mengalami ini ketika mengenyam pendidikan pascasarjana.
“Nah, Iwan kalau
sekolahnya pinter nanti sama kayak teh Ita!”
“Iya, hehe”
“Ade juga sama. Belajar makanya, ‘tong maen wae, de!”
“Ih ayah mah”
Mungkin itulah sebab aku ingin kuliah disana, tanpa tahu bahwa
kuliah disana tidaklah mudah, kecuali masuknya, mudah. Bisa lewat pintu depan,
samping, belakang, atau bawah, melalui Saraga. Jangan lupa senyum ke pak Satpam
nya. Dia punya kumis dan sedikit jutek.
Akhirnya kami pun meninggalkan jalan Ganesa yang rindang oleh pepohonan. Meninggalkan
logo dan tulisan Institut Teknologi Bandung, lengkap dengan tiang benderanya,
yang letaknya seberang masjid Salman. Masjidnya masih punya ITB, bukan punya
UI. Meskipun mereka dahulu saling membersamai. Sekarang tidak, sedikit gengsi
katanya. Kata pendahulunya, bukan kata penulisanya.
“Ampun, bu Rektor, peace
man!”
Aduh ngantuk euy, udahan dulu, ya? Kalem lah, duniawi ieu. Besok
dilanjut lagi. Sueer!
Aku lanjut lagi ceritanya, udah nggak ngantuk lagi.
Semaleman tidur, bangunnya siang.
Terakhir sampai mana? Oh iya, tinggal baca saja di atasnya,
ya?
Udara di jalan Ganesa begitu sejuk saat itu, karena aku
belum menutup kaca jendela mobil sedari tadi. Biarlah, agar udara bisa masuk ke
dalam mobil yang sedikit sumpek.
Biarlah, agar aku bisa menikmati suasananya sejenak. Sepanjang jalan Ganesa,
sudah banyak mahasiswa yang aktif berlalu lalang. Ada yang jalan santai sembari
menenteng map yang berisi puluhan tugas, berlarian sembari mengalung tabung
gambar, dan ada pula yang tidak membawa apa-apa. Begitu pula mobil kendaraan
umum, sepeda motor, dan mobil pribadi yang kecepatannya tidak terlalu kencang. Belum
ada transportasi online di jaman itu.
Kultur kampus ini adalah kuliah pukul 07.00 WIB. Makannya mahasiswanya sudah
berserakan di mana-mana. Dosennya juga ada yang rajin kok, bahkan banyak, namun tidak mau terpotret mata mahasiswanya
saja. Mereka pandai berkamuflase, macam-macam kamuflase. Sudah habis urusanku
dengan jalan Ganesa, mari kita ke tujuan utama, yakni jalan Sumatera No. 42.
Selama perjalanan menuju sekolah, aku tidak terlalu
memerhatikan sekelilingku ada apa saja, sehingga aku tidak bisa menjelaskan
secara detil di tulisan ini. Karena, besok-besok pasti berubah kegiatan dan
situasinya. Ditambah lagi, aku belum banyak tahu nama-nama jalan di kota
Bandung saat itu. Hanya tiga nama jalan saja, eh ada lima, yakni Sukajadi,
Ganesa, Sumatera, Merdeka, dan Kepatihan. Memang selama di perjalanan, banyak sih mobil dan motor turun ke jalan,
beradu cepat untuk sampai ke tempat tujuan yang sudah mereka sepakati
bersama-sama. Bersama pegawai dan atasannya. Bersama dosen dan rektornya.
Bersama guru dan muridnya. Bersama penumpang dan setorannya. Pokoknya
bersama-sama lah.
Aku sempat terkaget ketika pak polisi melambaikan tangan
untuk kami Waktu itu, mobil sudah ada di jalan Dago, stopan kedua setelah
perempatan jalan lebar, yang juga ada stopannya. Tapi sok lila disana mah. Posisi
badan dan arah pandangannya seolah-olah menghadap ke arahku, meski memang kita
tidak tahu arah bola retinanya kemana, karena ditutup oleh kacamata hitam agar
terlihat keren dan tidak silau saat bertugas.
“Edan, kenaleun si eta ka aing?”
Pak polisi masih semangat melambaikan tangannya. Namun,
beberapa detik kemudian, dia berbalik arah ke mobil yang lain, sehingga
terlihat seperti membagi perhatiannya ke semua pengendara beserta apa yang
dikandung di dalamnya.
“Si anjir, ngondisikeun hungkul gening!”
(Punten kalau saya
kasar, da sanes makhluk halus)
Mobil kami sudah melewati Bandung Indah Plaza, disingkat
BIP. Singkatannya seperti nama grup musik yang lahir pada tanggal 20 April
2000, buatan Bongky, Indra, dan Pay. BIP yang dahulu, sangat berbeda dengan
yang sekarang. Dahulu banyak
pengunjungnya dibandingkan dengan Bandung Super Mall, disingkat BSM. Sekarang
sudah alih nama menjadi Trans Studio Mall, disingkat TSM. Sudah lebih megah dan
rumah penduduk yang ngeyel-nya juga
sudah disuapin uang. Senang dia. Kemudian, kami melewati jalan yang pinggirnya
ada sebuah taman edukasi lalu lintas, aku menyebutnya taman lalu lintas, nama
asli taman itu adalah Taman Ade Irma Nasution. Kamu tahu tidak siapa itu Ade
Irma Nasution? Cobalah cari di mesin pencari Google, pasti ketemu. Sekolahku tidak
terlalu jauh dari taman itu. Mobil akhirnya merubah arahnya sedikit, ke kanan,
mendekati patung A.H. Nasution dan gedung bimbingan belajar kepunyaan Bob
Foster.
“Sampai, Alhamdulillah”
“Sok de, sok wan”
“Ayah, Emi sekolah dulu!”
“Iya, sini di-sun dulu”
Ayah mereka selalu membiasakan salam dengan cara yang
berbeda, cara keluarganya. Ayahku selalu membiasakan salam juga, namun dengan
cara yang berbeda pula. Masing-masing keluarga memiliki khasnya masing-masing.
Namun, aku lebih menyukai cara ayahku. Saat itu, aku lebih memilih untuk
mencium tangan ayahnya, seperti salam ke orang yang lebih tua pada umumnya.
Kami pun bergegas untuk keluar dari mobil di satu pintu yang sama, pintu
sebelah kiri. Turunnya satu-satu, kalau langsung dua-dua nanti tidak cukup dan
aku sayang ibu.
Gerbang putih besar sudah siap menyambut bisu kami berdua
yang jalannya tidak bersamaan. Langkahku lebih pemalu daripada langkahnya. Pak
Andi sedang asyik memarkirkan sejenak mobil yang datang dan pergi. Pak Nanang
menyambut ramah murid dan guru yang berdatangan sembari berjaga-jaga di pos yang
di dalamnya sudah siap sesaji pagi hari, yakni kopi hitam. Mereka berdua bertugas
sebagai satpam di sekolah kami yang tercinta ini, sekolah yang didominasi oleh
warna hijau daun. Sekolah yang hymne nya diciptakan oleh alm. Harry Roesli.
Sekolah yang bangunannya bekas Europersche Lagere School. Sekolah yang saingan
terberatnya adalah tetangganya sendiri, yakni SMPN 5 Bandung.
Aku tidak terlalu ingat siapa yang menyambut kami disana. Terlalu
bervariasi guru yang piket setiap harinya. Akhirnya, kami berdua memasuki gerbang
putih besar secara bersamaan. Biasanya dibalik gerbang putih ada Pak Herrie dan
Pak Dikdik yang siap menghalau para murid yang tidak berpakaian rapi, berambut
gondrong, dan terlambat. Alat perang mereka Cuma satu, gunting. Cuma buat
jaga-jaga saja. Namun pada saat itu, dibalik gerbang putih tidak terlalu
mencekam hanyalah terdapat beberapa kakak kelas, laki-laki dan perempuan yang
sedang duduk di pinggir dinding. Kemudian, aku dan sepupuku berpisah beberapa
meter, tidak jauh dari deretan ruang kelas IX. Bukan karena dia kelas 9, akan
tetapi dia bertemu teman sepermainannya. Ada banyak teman sepermainannya,
menandakan dia cukup supel, lebih mudah bergaul. Sebelumnya, kami berdua tidak
terlalu banyak berbicara saat memasuki sekolah. Aku tetap melanjutkan langkahku
ke kelas, sedangkan dia tetap melanjutkan obrolannya bersama teman-teman. Selang dari itu, lonceng pun berbunyi, dibunyikan oleh petugas piket yang duduknya di ruangan piket guru. Letaknya, dekat dengan gedung kelas IX, koperasi sekolah, dan Gelanggang Olahraga kebanggan Sumatera No. 42. Akan tetapi posisinya tidak ditengah-tengah. Takutnya dikira loket tiket nonton konser. Singkatnya, kami mengawali hari itu dengan penuh semangat bermain. Loh?
Bandung, 14 Desember
2019
Komentar
Posting Komentar