Aku coba untuk ingat hari itu, hari apa. Sebentar, ya. Yah,
ternyata aku tidak ingat sama sekali harinya hari apa. Aku hanya ingat
kejadiannya saja. Masih hari sekolah pokoknya. Masih keranjingan pakai seragam
putih biru setiap pagi hingga siang. Kalau sore aku buka, gerah soalnya dan bau
keringat juga. Jangan-jangan kamu juga sama, kan?. Mungkin, aku tidak akan
pernah mau tahu jalan di kota Bandung, jika aku tidak mengalami kejadian ini.
Singkatnya, aku tersesat di kota ku sendiri.
Saat itu pelajaran telah usai. Bel pulang sekolah bersenandung
di gendang telingaku. Aku ingat, waktu itu masih kelas satu semester dua. Masih
awal-awal belajar di sekolah itu, belum terlalu lama. Namun akan terasa lama
jika pelajarannya membosankan. Benar, kan?. Aku lekas bereskan alat tulis dan
buku-buku yang berserakan di atas meja kayu yang penuh dengan mahakarya dari
seniman-seniman tak bertanggung jawab, hanya bermodalkan pulpen dan tipe-x saja. Lalu, aku lupa kejadian
berikutnya apa.
“Hayu pulang. Rumah kamu dimana sih, lupa”
“Setra Dago, Antapani”
“Ooh”
Sejujurnya, respon
“Oh” adalah jawaban penuh ambigu. Bisa saja, aku benar-benar tahu. Bisa saja,
aku benar-benar tidak tahu. Faktanya, kala itu, aku tidak tahu Antapani itu
dimana. Maklumlah, belum ada setahun di kota Bandung.
Itulah percakapan yang ku bangun bersama Yanuar sesaat
setelah bel pulang sekolah berbunyi. Perlu ku ketahui bahwa nama temanku, si Yanuar
itu, tidak bertahan lama dan setenar nama bekennya kemudian. Namanya seketika
berubah sejak kelas dua, menjadi Anam. Anam adalah nama bapaknya. Tahukah
kalian? Bahwa dahulu, mengejek nama bapak adalah kepuasan batin tersendiri.
Meskipun sampai saat ini, aku belum menemukan esensi yang pasti.
Kenapa dia saja yang kuajak berbicara saat itu? Karena aku sebangku
dengan Yanuar. Sama-sama murid pindahan. Anaknya baik dan sedikit pemalu.
Maklum, sama-sama murid baru. Karena pemalu, aku ajak dia ngobrol, jajan ke kantin
sekolah, jajan ke kantin teh Aat (teh = kakak perempuan) yang letak
geografisnya hanya penduduk sekolah saja yang tahu, dan ajak berkeliling
sekolah. Sengaja, biar kami tidak tersesat bila disuruh oleh guru mengisi tinta
spidol. Memang bukan tugas kami, tugas sekretaris murid. Tapi ingin tahu saja
letaknya dimana.
Sebentar aku tidur dulu sejenak, karena mengingat masa lalu
itu sedikit sulit. Bikin ngantuk.
Aku lanjut lagi tidak apa-apa, ya?
Kemudian aku berjalan menuju gerbang sekolah, lalu menuju
pagar sekolah. Aku sadar bahwa sekolahku ternyata luas juga, ya!. Banyak siswa
lain yang berlalu-lalang disana, juga bersama orang tuanya. Ada yang bermobil,
bermotor. Semuanya lengkap, saling memperlihatkan tingkat sosialnya
masing-masing. Aku juga mengamati wajah-wajah mereka. Ada yang tersenyum
menyambut kepulangan anaknya, ada yang mengernyitkan dahi seolah-olah
memperlihatkan hidupnya penuh dengan masalah, ada yang memakai kacamata hitam
dengan frame modis seolah-olah dia
tidak melihat sekelilingnya meskipun sebenarnya bola matanya ke kiri dan kanan,
tapi takut ketahuan. Macam-macam lah. Tanpa sadar, langkahku sudah satu meter
di depan pagar sekolah. Aku berjalan ke arah tikungan taman Ade Irma Nasution,
biasa disebut taman lalu lintas. Tidak terlalu jauh dari sekolahku. Taman yang
selalu diisi oleh anak-anak PAUD untuk belajar marka lalu-lintas. Ada
kereta-kereta an juga disana. Pokoknya asyik. Aku pernah main kesana tiga kali.
Namun tidak menaiki semua wahana, karena takut ditanya “sudah kumisan kok naik odong-odong?”. Tapi memang
dasarnya aku pemalu. Jadi pertanyaan itu takkan pernah terlontarkan.
Aku menunggu angkot
jurusan St-Hall – Gede Bage bersama saudara-saudara Homo Sapiens ku yang
lain, tidak kutahu namanya, tapi kukenal wajahnya. Maklum belum mau kenalan
saat itu. Takut diculik, alias diajak main. Angkot
pertama datang dan berhenti, bukan jurusan yang ku inginkan, dua orang yang
sedari tadi berdiri, kini beranjak naik. Setelah itu pergi. Angkot kedua datang dan berhenti, masih
bukan jurusan yang ku inginkan, kemudian nge-time,
belum ada yang mau naik. Pikirku, mungkin mereka tidak naik jurusan itu. Lalu
tak lama berselang, angkot kedua
menyalakan mesinnya dan sesekali di gas. Supaya menarik perhatian calon
penumpangnya. Ternyata, satu orang yang terlihat acuh tadi, kini beranjak naik.
Dia tidak tahu bahwa skill sopir
orang batak belum ada tandingannya. Beberapa menit kemudian, si supir mematikan
mesin mobilnya dan penumpang yang ku sebutkan tadi, mengernyitkan dahinya. Dia
telah ditipu oleh lulusan SD. Angkot
ketiga datang, jurusan St.Hall – Gede Bage, jurusan yang ku inginkan, mobil
dengan warna kombinasi hijau muda – tua berpolet merah, berhenti tepat di
depanku. Aku menaiki mobil tersebut yang sudah sedikit penuh oleh penumpang.
Tak lama berselang, mobil itu pun meninggalkan tempatku berdiri.
Awal mula, mobil melaju dengan rute normal. Melewati pohon
rindang, tukang fotokopi, tukang tambal ban, toko olahraga, sekolah St. Angela,
sekolah Banjarsari. Sama sekali tidak terlintas rasa curiga bahwa rute mobil
akan berubah kemudian. Aku sedikit terlelap. Lelah kayaknya. Aku tidak terlalu
ingat siapa saja yang menaiki mobil angkot
ini. Ada perempuan dan laki-laki. Ada orang tua dan remaja. Ada satu orang yang
merokok di dekat pintu mobil. Mungkin dia selama di kota ini merasa kesepian
ditinggal rantau oleh istrinya ke luar kota. Ada juga yang memperlihatkan rasa
tidak suka dengan orang-orang sekelilingnya. Ada yang menutup hidung dengan tissue. Ada yang mengernyitkan dahi
seolah-olah kebingungan dengan keahlian pak sopir yang mahir membawa angkot. Banyaklah pokoknya, tidak banyak
yang bisa kuceritakan. Takutnya tercampur dengan cerita yang lain. Pada umumnya
situasi di dalam angkot seperti itu.
Kemudian,
Sebentar, aku coba ingat, saat itu sedang ada kejadian apa.
Pak sopir pun berkata kepada penumpang di sebelahnya bahwa
ada pengalihan arus disebabkan oleh demo sopir transportasi umum. Demo ini
bukan karena hadirnya sistem transport online
seperti sekarang.
“Kunaon euy?”
“Ah, teuing sigana aya
pengalihan arus!”
“Eleuh, diputerkeun
atuh ieu mah?’
“Biasa, demo kenaikan upah!”
Rute mobil pun seketika berubah, kepanikan melanda, namun aku
tak bisa mengambil keputusan karena tak tahu harus turun dimana dan naik angkot apa. Berbeda dengan penumpang
lain yang sudah merasakan asam garam kehidupan di kota ini. Tahu semua seluk
beluk rute transportasi umum. Sehingga mereka langsung turun dan menentukan
mobil dengan rute pilihannya.
“Turun nggak, ya?”
“Eh, jangan dulu. Ini nggak
tahu ada dimana?”
“Tapi orang-orang udah pada turun euy. Turun nggak, ya?”
“Jangan dulu, entar
bingung harus naik angkot apa. Uang ongkos juga udah sekarat”
Aku hanya bisa bermonolog sembari melihat mereka turun dari
mobil dan membayar setengah dari ongkos
yang seharusnya.
Aku lupa kejadian berikutnya apa lagi. Panik pokoknya.
Setelah melewati jalanan yang benar-benar ku tak tahu
dimana, ditambah isi penumpangnya hanya ada dua orang, termasuk aku di
dalamnya. Pak sopir kemudian menyuruh kami untuk pindah mobil, ke mobil
temannya. Mereka saling bercengkrama biar terlihat akrab sesama pengemudi.
Meskipun sebenarnya mereka saling bersaing untuk mendapatkan penumpang. Kalian
saja yang tertipu keramahannya.
“Anjir, aing lieur euy
diputer-puterkeun ku polisi!”
“Eta demo nyak? Aing ge sarua anjir lieur. Nepika kosong
kieu!”
Pak supir menoleh ke arah kami,
“Dek, mau kemana?”
“Viaduct, pak”
“Pindah ke mobil
sebelah aja yah, saya mau istirahat. Gak apa, gak usah bayar”
“Oh, iya”
Nampaknya dia ingin mampir ke warung kopi agak lama,
kemudian pulang ke rumahnya. Akhirnya, kami turun tanpa memberikan sepeserpun ongkos. Lega rasanya, karena kalau
dihitung-hitung lumayan besar jumlahnya.
“Jaman sekarang mah,
hese nyak dekI?”
“Hehe iya, Pak”
Mobil jurusan yang sama kini membawaku ke daerah antah berantah
tidak tahu arahnya kemana.
“Eh, ini kemana? Kok bukan ke Viaduct?”
Dalam monolog, aku tersadar seketika pak sopir sebelumnya
menipuku.
“Waduh, tambah jauh. Turun sekarang nggak, ya?”
“Tapi sebentar, mungkin ini rute tercepat atau mungkin dia
bakal balik lagi ke rute normal”
Beberapa calon penumpang yang ku lihat berdiri membawa
tentengan belanjaan pasar pun kini berubah status menjadi penumpang. Lambat
laun mobil ini kembali terisi penuh. Ada penumpang yang turun, ada juga yang
masih asyik menunggu hingga sampai ke tempat tujuan yang dia mau. Sedangkan
aku? Bimbang. Belum ada sama sekali keputusan.
Sebentar sholat dzuhur dulu
Ah, sudah kenyang. Lanjut lagi, ya?
Akhirnya mobil sudah berada di jalan protokol yang sangat
lebar. Aku tidak tahu nama jalannya apa saat itu. Penuh sesak kendaraan roda
dua maupun empat. Tidak ada alasan lagi untukku untuk segera turun. Sudah
terlalu jauh aku harus mengembara mengelilingi kota. Aku hanya perlu mencari
wartel. Pada tahun 2005, wartel masih populer dikalangan masyarakat. Waktu itu
aku tidak dibekali HP oleh ibuku, hanya uang untuk jajan dan pulang, kebiasaan
di sekolah boarding memang untuk
tidak membawa HP. Akhirnya aku menemukan patokan supermarket yang pernah ku
kunjungi bersama ayah, ibu, tante, dan om, aku lupa nama supermarketnya, kalau
tidak salah sekarang menjadi Lotte Mart. Kemudian, aku melihat palang wartel di
pinggir jalan, dekat dengan jembatan. Bulat tekadku untuk turun dari angkot itu. Sekitar pukul 17.30 WIB,
kalau tidak salah.
“Kiri!”
Pak supir pun menepikan mobilnya sejenak untuk menurunkan
anak kecil berseragam putih biru yang wajahnya tampak lelah menyusuri
jalan-jalan tikus dan protokol. Aku yang duduk paling ujung, perlahan melewati
tujuh orang yang lututnya saling bersinggungan satu sama lain.
“Punten, a”
“Punten, teh”
Aku merogoh seluruh harta terakhirku di saku celana
kanan.
“Ini, Pak”
“Kurang Rp. 2000,- dek”
“Oh iya”
Hingga mobil itu pergi, aku tidak punya uang sepeserpun.
Berharap kepada wartel lah aku memuja, agar ia menyampaikan sambungan teleponku
ke kedua orang tua di rumah.
Aku dekati palang wartel itu, mula-mula berjalan menyusuri
jembatan pendek yang sebelah kanannya ada mobil dan motor banyak-banyak.
Ujarnya bisu, palang itu mengatakan bahwa wartel tidak jauh dari tempatku
berpijak. Agak turun sedikit. Sampai. Alhamdulillah.
Aku memasuki rumah yang didalamnya ada kios wartel. Beruntung,
nomor teleponnya tidak terlalu susah diingat. Ku tekan nomor-nomor yang dikehendaki.
Tunggu sejenak hingga dering tanda tersambung berbunyi.
“Assalamualaikum”
“Mah, ini Iwan. Iwan tersesat, mah!”
“MasyaAllah, di
mana? Kok bisa tersesat?”
“Itu loh tempat
yang kemarin kita kunjungi pas lihat
mobil”
“Oh, Soekarno – Hatta deket uwa Nandang. Meni jauh”
“Iya tadi katanya ada demo, makanya semua dibelokin si
angkot-angkot teh!”
“Alamatnya dimana ini?”
“Sebentar, mah”
Aku pun bergegas untuk menanyakan kepada orang rumah
penyedia kios wartel itu. Aku lupa alamat lengkapnya apa, yang penting sudah
kusampaikan lewat telepon.
“Ya sudah, beres sholat maghrib ayah sama mamah kesana!”
“Oke, mah. Assalamualaikum”
Telepon segera ditutup agar tunggakannya tidak terlalu
besar. Aku menunggu dengan sabar kedatangan orang tuaku, hingga adzan maghrib
pun berkumandang. Terheran dengan sikapku yang duduk lesu seperti menunggu
sesuatu, akhirnya mereka menanyakan keadaanku.
“Masuk dulu den”
“Iya bu, terima kasih. Hehe”
“Minum dulu sini,
tidak apa-apa”
Wajar mereka berkata seperti itu, karena tahu aku bukan
orang sekitar situ. Aku lupa apakah saat kejadian itu aku membayar wartel atau
tidak, yang pasti aku bertemu kedua orang tuaku di seberang jalan supermarket
yang kujanjikan. Dekat dengan palang wartel, kalau tidak salah.
Rasa haru pun datang, seperti orang yang baru disandera
pasukan teroris. Dari kejadian tersebut, aku belajar banyak hal. Mungkin, kalau
bukan kejadian itu, aku tidak akan mungkin mau turun dan mendatangi secara
mandiri kios wartel di pinggir jalan. Mungkin, kalau bukan kejadian itu, aku
tidak akan mau menghafal jalanan di kota Bandung. Aku tidak akan tau Gede Bage,
Soekarno – Hatta, Ujung Berung, Buah batu, dan jalan-jalan tikus
sekalipun. Alhasil, aku sudah menguasai
jalanan protocol di kota Bandung hingga ke kabupatennya sekalipun. Dan itu
semuanya ku lakukan demi menebus ketidaktahuanku dahulu. Terima kasih angkot beserta pak sopirnya yang sudah
mengajakku jalan-jalan di hari itu. Terima kasih Bandung.
Bandung, 8 Desember
2019
Komentar
Posting Komentar